All about Mee in P

Saturday, November 17, 2007

Bahasa Indonesia masa kini?

“Secara, tumbuh ke atas, bukan ke samping…”

Pernah denger kalimat di atas? Itu kalimat penutup di iklan produk susu kalsium untuk anak muda. Pada ngerti artinya kan? Secara di sinetron2 banyak kalimat yg sejenis.

Emang penggunaan kata ‘secara’ yg salah ini lagi ngetrend di ibukota. Gw ndiri pertama kali dateng buat interview kerja sekitar November tahun lalu masih bengong2 ketika bakal temen sekantor ngomongnya suka pake ‘secara’ yg aneh itu.
Pas beneran gabung Februari lalu baru ngeh cara pake kata ‘secara’ yg disalah-gunakan itu.Trus karena penasaran gw jadi ikutan pake tu kata dalam kalimat. Trus bener ceunah. Weesss…gw emang ada talent di bidang bahasa kali ya… *aneh jg ya, bangga menggunakan bahasa yg salah*

Dari situ dah ketagihan pake kata ‘secara’ yg salah dan jadilah itu penyakit akut gw. Tentu saja itu ngefek bgt ke kerjaan secara gw ini kan interpreter & transleter so kalo biasa ngomong salah pastilah terjemahan gw juga banyak yg salah binti aneh. Itu juga kebawa2 pas chating ma temen2 yg kebanyakan ga domisili di Jakarta so pastilah mreka pada ga ngerti gw ngomong apa. Udah gitu pake campuran logat Sunda lagi. Lengkap sudah ketidak-mengertian temen gw di seberang sana.

Tapi suatu hari ada temen di kantor lama yg mau insaf ga mau pake ‘secara’ ceunah. Dan gw ikut2an insaf. Tapi itu ga berlangsung lama. Kembali lagi gw pake kata itu meski sekarang dah bisa milah2 kapan bisa pake ‘secara’ kapan ga boleh pake, dalam arti saat ngobrol ma temen2 di Jakarta bisa aja pake ‘secara’ tapi saat kerja ato lagi ngobrol ma temen yg ga tinggal di kampung gw ga boleh pake. Gitchu!

Sebenernya ‘secara’ yg salah kaprah ini kapan bisa dipakai? Than artinya apa?
‘secara’ di sini banyak banget artinya dan bebas bgt penggunaannya menurut pengamatan gw selama ini.
Ex :
A : Gw mo balik sekarang nih. Lo balik ga?
B : Ikutan balik lah! Secara gw numpang doang! (Kan gw numpang doang!)

A : Besok gw bisa ngantor ga ya?
B : Secara lo masih lemes gitu, gimana bisa ngantor! (Lah, lo masih lemes gitu, ..!)

(Testi buat alumni suatu SMA)
Tetep jaya SMA Z! Tetep rame ya! Secara gw juga anak SMA Z, hehehe....(Mengingat gw juga anak SMA Z....)

A : Ayo, beres2 dulu! Ga boleh pulang sebelum bantuin beres2!
B : Secara kemarin pada pulang semua juga! (Padahal kemarin pada pulang semua juga!)

A : Eh, lo bukannya ikutan meeting sekarang?
B : Ga dong. Secara gw cuma staff jadi ga ikutan. (Karena gw cuma staff jadi ga ikutan)

A : Bahasa Jepang gw udah lupa. 10 taun yg lalu secara! (10 taun yg lalu gitu loh!)


Gitu deh contohnya. Jadi arti 'secara' itu ga pasti. Suka2 yg make aja. Fungsinya kebanyakan buat penekanan sih. Meski gitu ada juga loh cara penyalahgunaan 'secara' yg salah menurut temen gw. Misalnya contoh terakhir di atas itu katanya salah. Ga wajar penggunaan 'secara'-nya di belakang. Ada2 aja yah, salah dalam melakukan hal yg salah. Lagian,sekarang dah banyak yg make 'secara' di belakang lagi!

Ada lagi loh pola kalimat yg aneh2 dan baru gw denger di Jakarta ini.
Misal :
1. Piring kotor jangan di taruh di situ ya, ntar disemutin! (yg bener gimana ya?)
2. Eh Min, duwitnya udah dike-Ega-in belum? (maksudnya 'dah dikasih ke Ega' kali ya)

Mungkin itu emang sifat bahasa ya? Selalu berubah dan ga ada yg mutlak bener meski ada aturan bahasa yg baik dan bener gitu. Lagian pengguna bahasa sendiri pasti lebih seneng pake yg praktis2. So, ga bisa dihindari kalo bahasa bakalan terus berkembang.

Hayo, ada lagi kata2 ato pola kalimat yg bisa dipopulerin? :P

Labels:

Saturday, January 13, 2007

Novel menarik yang saya baca

Judul buku : Kirakira hikaru
Penulis : Kaori Ekuni
Penerbit : Shinchosha
ISBN : 4-10-380801-2 C0093
Bahasa : Jepang


Pernikahan antara seorang dokter spesialis yang homo dan seorang penerjemah freelance yang mempunyai sedikit gangguan kejiwaan dan kecanduan alkohol. Pernikahan yang diawali dengan perkenalan melalui mak comblang (miai kekkon) ini sebenarnya dilakukan karena kedua orang tersebut ingin menutupi kekurangan masing-masing. Mutsuki, si lelaki menikah untuk menutupi kelainan seksualnya, dan Shoko, si perempuan menikah karena dipaksa oleh ketakutan orang tuanya. Ketakukan anak perempuannya tidak bisa menikah selamanya karena tidak ada yang mau menikahinya.

Setelah menikah pun Mutsuki tetap berhubungan dengan kekasihnya, yang tentu saja laki-laki. Ini juga karena dorongan istrinya. Shoko melarang suaminya berpisah dengan kekasihnya. Shoko memang mempunyai pemikiran yang aneh mengingat gangguan yang dideritanya. Dia selalu memandang lukisan kakek tua Cezanne sambil berbicara sesuatu seakn tengah mengobrol dengan lukisan tersebut. Kadang dia menyanyi di depan lukisan karena si kakek menyuruhnya menyanyi. Dia juga selalu memberikan teh untuk bonsai hadiah dari kekasih suaminya ketika dia dan suaminya minum teh bersama. Tapi kecanduannya terhadap alkohol bukan karena keanehannya. Alkohol baginya tak lebih bagai air minum biasa.

Sementara Mutsuki tidak bisa dibilang penyuka alkohol. Dia hanya minum sekedarnya. Hal yang paling disukainya adalah kebersihan dan kerapian. Penyakit penyuka kebersihan ini yang membuatnya tidak membiarkan istrinya melakukan pekerjaan rumah. Dia tidak bisa mempercayakan pekerjaan bersih-bersih dan beres-beres rumah kepada istrinya. Bahkan memasak dan menyiapkan makanan pun Mutsuki yang melakukan. Enak sekali kan menjadi istri Mutsuki? :)

Pernikahan mereka yang tidak wajar ini ternyata telah mengikat mereka. Mereka adalah pasangan yang saling membutuhkan dan saling menyanyangi. Hidup tenang dalam dunia mereka masing-masing tanpa ada yang mengganggu.

Sampai suatu hari kejanggalan pernikahan mereka terbongkar dan hal tentang kelainan seksual Mutsuki sampai ke telinga orang tua Shoko. Perundingan keluarga dilakukan tanpa menghasilkan keputusan apapun. Tetapi Shoko tahu bahwa kedua orang tuanya tidak bisa menerima kenyataan meski Mutsuki maupun dia lebih nyaman dengan keadaan mereka sekarang.

Dalam keadaan seperti itu, Shoko untuk pertama kalinya merasa bahwa dia harus menyelamatkan rumah tangganya. Dia tidak ingin pernikahannya dengan Mutsuki hancur sehingga dia harus berpisah dengan Mutsuki. Dia ingat sahabatnya pernah berkata bahwa kehadiran anak akan membuat sebuah keluarga lengkap dan normal. Maka dia pergi ke rumah sakit tempat suaminya bekerja untuk berkonsultasi dengan teman suaminya tentang program bayi tabung. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mutsuki.

Di lain pihak Mutsuki telah sejak awal diberi usul oleh ibunya sendiri untuk melakukan program bayi tabung tersebut. Tentu saja tujuan si ibu adalah supaya kelainan Mutsuki tidak diketahui oleh besannya. Ibu Mutsuki pun telah membicarakan rencana itu kepada Shoko menantunya tetapi baik Mutsuki maupun Shoko tidak menerima usul tersebut. Mereka lebih senang hidup berdua saja. Tapi sekarang setelah semuanya terbongkar, apakah Mutsuki akan tetap menentang program tersebut? Apakah Shoko berhasil mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan caranya sendiri?


Membaca novel ini membuat saya sadar ternyata ada juga pernikahan yang tidak wajar seperti ini. Cerita ditulis dari 2 sudut pandang, dari pikiran Shoko dan dari pikiran Mutsuki membuat pembaca lebih memahami karakter masing-masing tokoh dan konflik mereka alami. Mengingat novel ini ditulis dalam bahasa Jepang, cara penulisan seperti ini sangat membatu pembaca non native untuk memahami jalan cerita. Sayang sekali banyak huruf kanji yang tidak diberi furigana (cara baca) sehingga kadang ada kata-kata kunci yang sulit dimengerti. Mungkin karena ini adalah novel yang ditulis untuk orang dewasa Jepang yang tentu saja telah menguasai ribuan huruf kanji.

Jalan cerita novel ini mengalir tenang tanpa ada konflik yang memuncak tapi tetap saja enak dibaca apalagi jika anda membaca sambil mendengarkan musik yang lemah lembut. Mengingat pembaca tidak hanya sekedar membaca tapi dituntut juga untuk berpikir, memahami masalah-masalah yang dihadapi para tokoh. Pembaca juga pasti akan berpikir kembali tentang pernikahan. Apa sebenarnya tujuan dari suatu pernikahan? Apakah pernikahan seperti yang digambarkan dalam novel Kunio ini benar-benar tidak wajar? Kenapa setelah orang menikah akan dituntut untuk mempunyai keturunan? Apakah kita harus selalu hidup dalam kewajaran? Menikah, mempunyai anak, membesarkan anak, menikahkan anak, mendapatkan cucu, melihat cucu tumbuh dan seterusnya.

Anda yang sedang ingin berpikir tentang kehidupan, tentang berbagai macam pernikahan, juga anda yang ingin mengetahui jalan pikiran orang-orang yang ditengarai ‘tidak wajar’, saya sarankan untuk membaca novel ini. Oh, maaf, SANGAT saya sarankan untuk membaca novel ini.

Labels:

Tuesday, November 28, 2006

UNFAIR

yo no naka ni wa fea (fair) na koto nante nani mo nai
mei ni wa mei o
fukushuu ni wa fukushuu o
anfea (unfair) ni wa anfea (unfair) o

(di dunia ini tidak ada hal yang disebut keadilan
nyawa dibayar nyawa
balas dendam dibayar dengan balas dendam
ketidak-adilan dibayar dengan ketidak-adilan)


Kata-kata ini adalah kata pembuka dalam drama Jepang "Unfair" yang baru selesai aku lihat minggu lalu.
Entah kenapa kata-kata tersebut begitu membekas di hatiku, terus terngiang di telingaku, bahkan sampai terbawa mimpi. Mungkin karena aku terlalu larut dalam cerita drama itu. Ada yang sudah melihat?

Cerita seputar kepolisian yang mengejar pelaku pembunuhan berantai. Penuh dengan penghianatan dan ketidak-adilan.

Sempat berpikir juga selama menonton. Apakah memang benar-benar tidak ada keadilan di dunia ini? Apakah benar semua orang akan menghianati kita? Apakah tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa kita percaya?

Hari-hari terakhir ini aku sibuk memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku tersebut.

Labels:

Tuesday, November 14, 2006

Para 'korban' cinta

Entah kenapa beberapa hari ini aku terus berpikir tentang betapa 'jahat'nya cinta.
Seperti yang tertulis dalam cerpen yang baru kubaca.
Baru-baru ini, aku membaca surat kabar, dan mengetahui bahwa seorang remaja laki-laki bunuh diri, setelah penyataan cintanya tidak diterima. Apakah ini bukan kematian yang sia-sia?

Benar-benar kematian yang sia-sia.
Aku ingat guru Bahasa Indonesia di SMA-ku dulu pernah berkata bahwa orang yang bunuh diri adalah orang yang bodoh betapapun pintarnya dia. Dia bodoh karena tidak bisa lagi berpikir tentang apa yang harus dikerjakan selanjutnya sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Aku sangat setuju dengan pendapat guruku tersebut.

Terus terang aku pernah beberapa kali berpikir mungkin jika aku tiada lagi di dunia ini, aku tidak akan merepotkan dan menyusahkan begitu banyak orang. Pikiran ini datang ketika aku merasa sangat banyak berbuat salah dan tidak bisa berpikir sehat. Aku pernah pula berniat untuk mengakhiri hidupku. Tapi pride-ku sebagai seorang yang 'merasa' pintar, selalu mencegahku melakukan hal itu. Aku tidak ingin orang mengatakan aku bodoh karena telah bunuh diri. Kata-kata guru SMA-ku tertanam begitu dalam dan mengakar di kepalaku. Aku tidak mau orang menganggap aku bodoh. Karena itu aku harus terus bertahan hidup. Apapun yang terjadi.

Setiap masalah selalu mempunyai jalan keluar. Begitupun masalah cinta. Sebagai seorang yang percaya adanya Tuhan maka sudah sepatutnya kita percaya bahwa Tuhan selalu memberi kita yang terbaik. Jika memang seseorang yang kita sukai bukanlah yang terbaik untuk kita, kenapa harus bunuh diri untuknya? Bukankah manusia diciptakan berpasang-pasangan? Jadi pasti semua mempunyai pasangan masing-masing.

Di atas aku menulis bahwa cinta itu 'jahat'. Tapi sebenarnya bukan itu maksudku. Cinta tidak pernah bisa dipersalahkan. Manusia yang menyalah-gunakan cinta itulah patut dipersalahkan. Mereka yang berbuat jahat dengan mengatas-namakan cinta. Mereka yang memanfaatkan cinta untuk kepentingannya sendiri.

Terkadang memang cinta membutakan mata, mematikan otak dan pikiran manusia. Tetapi jika kita letakkan sejenak cinta itu di samping kita, kita akan tahu betapa salahnya kita telah mengambil jalan dan betapa salahnya kita telah menyalahkan cinta.

Aku teringat Gracie Hart seorang agen spesial FBI dalam film Miss Congeniality 2 yang bangkit justru karena dicampakkan oleh kekasihnya. Atau wanita (aku lupa namanya) dalam J-drama Diamond Girl yang juga bisa menjadi seorang wanita berguna ketika tunangannya meninggalkannya untuk bersama wanita lain.
"Ahh...itu kan hanya cerita fiksi." Mungkin ada yang berpikir seperti itu. Tapi sesungguhnya di dunia nyata ini pun tidak sedikit orang seperti yang ada di cerita fiksi tersebut.

Dan memang cinta tidak hanya menimbulkan korban yang tak bernyawa. Masih banyak korban cinta yang tidak hanya mempunyai nyawa tetapi juga segalanya. Pilihan kitalah yang akan membawa kita ke dermaga. Engkau yang bijaksana pasti akan mengambil yang terbaik bagimu. Ingatlah bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kita.


Untuk mereka yang sedang terluka, percayalah kalian bisa melewati semuanya. Semua akan selesai :)

Labels: