Judul buku : Kirakira hikaru
Penulis : Kaori Ekuni
Penerbit : Shinchosha
ISBN : 4-10-380801-2 C0093
Bahasa : Jepang
Pernikahan antara seorang dokter spesialis yang homo dan seorang penerjemah freelance yang mempunyai sedikit gangguan kejiwaan dan kecanduan alkohol. Pernikahan yang diawali dengan perkenalan melalui mak comblang (miai kekkon) ini sebenarnya dilakukan karena kedua orang tersebut ingin menutupi kekurangan masing-masing. Mutsuki, si lelaki menikah untuk menutupi kelainan seksualnya, dan Shoko, si perempuan menikah karena dipaksa oleh ketakutan orang tuanya. Ketakukan anak perempuannya tidak bisa menikah selamanya karena tidak ada yang mau menikahinya.
Setelah menikah pun Mutsuki tetap berhubungan dengan kekasihnya, yang tentu saja laki-laki. Ini juga karena dorongan istrinya. Shoko melarang suaminya berpisah dengan kekasihnya. Shoko memang mempunyai pemikiran yang aneh mengingat gangguan yang dideritanya. Dia selalu memandang lukisan kakek tua Cezanne sambil berbicara sesuatu seakn tengah mengobrol dengan lukisan tersebut. Kadang dia menyanyi di depan lukisan karena si kakek menyuruhnya menyanyi. Dia juga selalu memberikan teh untuk bonsai hadiah dari kekasih suaminya ketika dia dan suaminya minum teh bersama. Tapi kecanduannya terhadap alkohol bukan karena keanehannya. Alkohol baginya tak lebih bagai air minum biasa.
Sementara Mutsuki tidak bisa dibilang penyuka alkohol. Dia hanya minum sekedarnya. Hal yang paling disukainya adalah kebersihan dan kerapian. Penyakit penyuka kebersihan ini yang membuatnya tidak membiarkan istrinya melakukan pekerjaan rumah. Dia tidak bisa mempercayakan pekerjaan bersih-bersih dan beres-beres rumah kepada istrinya. Bahkan memasak dan menyiapkan makanan pun Mutsuki yang melakukan. Enak sekali kan menjadi istri Mutsuki? :)
Pernikahan mereka yang tidak wajar ini ternyata telah mengikat mereka. Mereka adalah pasangan yang saling membutuhkan dan saling menyanyangi. Hidup tenang dalam dunia mereka masing-masing tanpa ada yang mengganggu.
Sampai suatu hari kejanggalan pernikahan mereka terbongkar dan hal tentang kelainan seksual Mutsuki sampai ke telinga orang tua Shoko. Perundingan keluarga dilakukan tanpa menghasilkan keputusan apapun. Tetapi Shoko tahu bahwa kedua orang tuanya tidak bisa menerima kenyataan meski Mutsuki maupun dia lebih nyaman dengan keadaan mereka sekarang.
Dalam keadaan seperti itu, Shoko untuk pertama kalinya merasa bahwa dia harus menyelamatkan rumah tangganya. Dia tidak ingin pernikahannya dengan Mutsuki hancur sehingga dia harus berpisah dengan Mutsuki. Dia ingat sahabatnya pernah berkata bahwa kehadiran anak akan membuat sebuah keluarga lengkap dan normal. Maka dia pergi ke rumah sakit tempat suaminya bekerja untuk berkonsultasi dengan teman suaminya tentang program bayi tabung. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mutsuki.
Di lain pihak Mutsuki telah sejak awal diberi usul oleh ibunya sendiri untuk melakukan program bayi tabung tersebut. Tentu saja tujuan si ibu adalah supaya kelainan Mutsuki tidak diketahui oleh besannya. Ibu Mutsuki pun telah membicarakan rencana itu kepada Shoko menantunya tetapi baik Mutsuki maupun Shoko tidak menerima usul tersebut. Mereka lebih senang hidup berdua saja. Tapi sekarang setelah semuanya terbongkar, apakah Mutsuki akan tetap menentang program tersebut? Apakah Shoko berhasil mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan caranya sendiri?
Membaca novel ini membuat saya sadar ternyata ada juga pernikahan yang tidak wajar seperti ini. Cerita ditulis dari 2 sudut pandang, dari pikiran Shoko dan dari pikiran Mutsuki membuat pembaca lebih memahami karakter masing-masing tokoh dan konflik mereka alami. Mengingat novel ini ditulis dalam bahasa Jepang, cara penulisan seperti ini sangat membatu pembaca non native untuk memahami jalan cerita. Sayang sekali banyak huruf kanji yang tidak diberi furigana (cara baca) sehingga kadang ada kata-kata kunci yang sulit dimengerti. Mungkin karena ini adalah novel yang ditulis untuk orang dewasa Jepang yang tentu saja telah menguasai ribuan huruf kanji.
Jalan cerita novel ini mengalir tenang tanpa ada konflik yang memuncak tapi tetap saja enak dibaca apalagi jika anda membaca sambil mendengarkan musik yang lemah lembut. Mengingat pembaca tidak hanya sekedar membaca tapi dituntut juga untuk berpikir, memahami masalah-masalah yang dihadapi para tokoh. Pembaca juga pasti akan berpikir kembali tentang pernikahan. Apa sebenarnya tujuan dari suatu pernikahan? Apakah pernikahan seperti yang digambarkan dalam novel Kunio ini benar-benar tidak wajar? Kenapa setelah orang menikah akan dituntut untuk mempunyai keturunan? Apakah kita harus selalu hidup dalam kewajaran? Menikah, mempunyai anak, membesarkan anak, menikahkan anak, mendapatkan cucu, melihat cucu tumbuh dan seterusnya.
Anda yang sedang ingin berpikir tentang kehidupan, tentang berbagai macam pernikahan, juga anda yang ingin mengetahui jalan pikiran orang-orang yang ditengarai ‘tidak wajar’, saya sarankan untuk membaca novel ini. Oh, maaf, SANGAT saya sarankan untuk membaca novel ini.
Labels: ulasan
4 Comments:
setiap orang hidup dengan ego dan 'ketidak wajarannya' masing2. tidak ada satu pribadi yang menilai orang lain (sangat) 'wajar'...
By
Anonymous, at Mon Jan 15, 07:38:00 AM 2007
kalau batasan 'wajar' itu sendiri telah ditentukan oleh lingkungan sekitar bagaimana?
By
Mee, at Tue Jan 16, 08:30:00 PM 2007
biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu....
By
Anonymous, at Thu Jan 18, 11:34:00 AM 2007
segampang itu kah?
ato apakah kita bisa secuek itu?
By
Mee, at Thu Jan 18, 11:46:00 AM 2007
Post a Comment
<< Home