Ini adalah sambungan dari cerpenku yg berjudul "Selamat Datang Cinta"
Hari terakhir di tahun 2006. Aku melewatkan pergantian tahun kali ini di pinggiran kota Tokyo. Aku homestay selama seminggu di rumah kenalanku. Karena masih termasuk wilayah Tokyo aku piker di sini lebih hangat daripada Matsumoto sehingga aku tidak membawa baju super tebal. Alhasil aku kedinginan karena meskipun masih masuk wilayah Tokyo, Hachioji, kota tempat kenalanku tinggal, terletak di wilayah perbukitan. Dinginnya udara di sini tak kalah dengan dinginnya Matsumoto.
Sebenarnya aku ingin melewatkan pergantian tahun bersama Taki. Tapi dia mudik selama liburan musim dingin. Orang-orang Jepang merayakan pergantian tahun bersama keluarga mereka, seperti umat Islam di Indonesia merayakan Hari Raya Idul Fitri. Sama seperti di Indonesia, saat arus mudik dan arus balik, angkutan kendaraan umum di Jepang kebajiran penumpang dan jalan raya dipenuhi para pemudik. Hanya saja karena kendaraan umum di Jepang sangan tepat waktu maka hampir tidak ada penumpang yang terlantar. Kecuali jika ada gangguan cuaca seperti hujan lebat, hujan salju ataupun angin kencang.
Kebanyakan warga Jepang menggunakan ‘Shinkansen’, kereta api super ekpres yang senyaman pesawat terbang. Bahkan shinkansen lebih cepat daripada pesawat. Shinkansen mempunyai rel tersendiri sehingga tidak mengganggu jadwal kereta yang lain. Selain itu rel shinkansen dibuat khusus supaya tidak melengkung dan shinkansen tidak melayang saat melewatinya, mengingat kecepatan shinkansen lebih dari 200km/ jam. Shinkansen terbaru malah kecepatannya sekitar 300km/ jam.
Aku berangkat naik mobil kenalanku ke Hachioji. Dia menjemputku karena dia dan keluarganya memang rencananya pulang dari ski di daerah dekat Matsumoto. Karena melewati tempatku, mereka mengajakku pergi bersama. Lumayan aku tidak perlu keluar ongkos bis untuk berangkat. Perjalanan Matsumoto – Hachioji lancar tanpa hambatan karena dilakukan pada malam hari dan melawan arus mudik.
Ini adalah hari ketiga aku di Hachioji. Seharian tadi aku diajak host family berjalan-jalan ke berbagai kuil. Pada akhir tahun banyak juga orang yang ke kuil melakukan doa terakhir di tahun tersebut. Kemudian pada malam hari mereka makan toshikoshi soba, mi soba yang dimakan pada malam pergantian tahun, bersama keluarga sambil menonton acara ‘Kohaku uta gassen’ di stasiun TV NHK. Pada acara ini, para penyanyi Jepang dibagi menjadi 2 grup yaitu merah yang beranggotakan penyanyi wanita dan putih yang terdiri dari penyanyi pria. Anggota kedua grup secara bergantian menyanyi dari jam 10 sampai jam 12 kurang. Menjelang detik-detik pergantian tahun, diumumkan grup pemenang, yaitu grup yang paling disukai oleh pemirsa. Aku juga melakukan ritual ini bersama host family-ku.
Kohaku Uta Gassen ini menurut kenalanku, ditonton oleh seluruh keluarga Jepang. Tapi ketika aku tanyakan kepada Taki, dia menentang dengan penuh semangat. “Nggak bener itu! Aku dan keluargaku malah gak pernah nonton acara itu.” Aku tersenyum mengingat perkataannya. Dia itu Japanese tapi sama sekali tidak berjiwa Jepang. Pasti malam ini pun dia tidak sedang menonton Kohaku Uta Gassen. Dia sedang apa ya? Aku tidak bisa berhenti memikirkannya hingga tidak berkonsentrasi menonton TV. Berulang kali aku ke toilet hanya untuk mendapatkan sinyal supaya aku bisa ber-sms dengan Taki. Meskipun berada di daerah tinggi aku tidak bisa mendapatkan sinyal pada malam hari padahal pada siang hari HP-ku tidak bermasalah. Ini karena adanya amado yang dipasang di sekeliling rumah. Amado adalah semacam jendela pengaman yang dipasang di luar jendela kaca. Jendela ini terbuat dari sejenis logam untuk mengamankan jendela kaca dari hujan, angin, maupun salju. Juga sebagai pengaman supaya pencuri tidak bisa masuk. Pada musim dingin amado berfungsi mencegah masuknya angin dingin ke dalam rumah. Di rumah kenalanku ini pun semua jendela kamar dipasangi amado. Hanya kamar mandi dan toilet yang tidak ber-amado.
Tahun berganti tetap dalam suasana dingin. Tanggal 1 Januari, aku dan host family-ku pergi ke kuil untuk melakukan hatsumode, kunjungan ke kuil untuk pertama kalinya di tahun baru. Istri kenalanku meminjamkan kimononya kepadaku sehingga aku berkimono pergi ke kuil. Sama sekali tidak nyaman memakai kimono pada musim dingin. Karena meskipun kimono yang aku pakai adalah kimono khusus musim dingin, tapi dinginnya udara masih kurasakan sampai ke tulang. Dan kami mengunjungi kuil yang lumayan jauh dari rumah. Berkimono aku harus berjalan menuju halte kemudian naik bis sampai stasiun lalu naik kereta selama kira-kira 5 menit untuk sampai ke stasiun terdekat dari kuil.
Aku tidak mengerti kenapa kami harus melakukan hatsumode di kuil yang jauh dari rumah. Katanya kami akan ke kuil yang lumayan terkenal. Bagiku kuil Shinto semua sama. Besar, kecil, terkenal atau tidak bagiku tidak masalah. Aku ikuti saja kemauan keluarga homestay-ku. Mereka pasti ingin menunjukkan keistimewaan perayaan tahun baru di Jepang. Aku berusaha terus bertahan di tengah banyaknya orang yang menuju kuil. Kami bergandengan tangan supaya tidak terpisah karena semua orang bergerak dan kami tidak bisa berhenti sama sekali. Selama mereka berdoa aku memotret apapun yang bisa potret. Kerumunan orang yang berjubel berebut untuk berdoa, pagoda di kuil yang dikelilingi manusia, juga petugas di kuil yang bersusah payah mengatur supaya semua orang bisa berdoa. Fuih…kumpulan manusia yang membuat pusing tapi juga menarik. Pengalaman yang tidak bisa aku dapatkan di Indonesia.
Tetapi terus terang aku tak begitu menikmati homestay-ku karena aku selalu memikirkan Taki. Seminggu itu aku merasa berbulan-bulan tidak bertemu dengannya. Meski kami tetap berhubungan melalui email ataupun telepon tapi aku tetap ingin bertemu dengannya setiap saat. Ah… mengapa aku jadi begitu manja. Diriku yang penyendiri telah hilang entah ke mana. Yang ada sekarang adalah diriku yang mempunyai penyakit ketergantungan terhadap Taki. Semoga dia tidak merasa terganggu.
===
Aku kembali ke Matsumoto lebih dulu daripada Taki. Libur pergantian tahun memang masih tersisa beberapa hari sehingga Taki masih berada di kampung halamannya. Aku kembali karena program homestay sudah selesai dan aku perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi pelajaran di kampus setelah libur yang lumayan panjang ini. Ah…Taki masih akan kembali ke sini 3 hari lagi. Masih lama. Pikiranku kembali melayang kepadanya setiap kali aku tidak melakukan suatu aktivitas. Karena itu aku terus menyibukkan diri dengan membersihkan dan membenahi kamar dan belajar. Aku juga membersihkan apartemen Taki karena dia meminjamiku kunci kamarnya. Pokoknya segala macam hal kulakukan supaya aku tidak duduk menghitung hari menunggu kepulangan Taki.
9 Januari malam, kira-kira jam 9 Taki menelpon. Dia sudah berada di Matsumoto. Sekarang sedang dalam perjalanan menuju apartemennya. Loh bukannya dia baru akan kembali besok? “Aku kembali sehari lebih awal. Kamu datang ke apartemenku sekarang ya?” katanya sebelum mengakhiri pembicaraan. Sebenarnya aku takut mengganggunya karena dia baru datang dan pasti perlu istirahat. Tapi kerinduanku padanya mengalahkan keraguanku. Dengan membawa makanan yang kumasak tadi sore, (aku tidak menyiapkan masakan khusus karena tidak menyangka dia akan kembali hari ini) aku segera berangkat ke apertemennya. Ternyata Taki juga baru sampai ketika aku tiba di sana.
Sambil makan masakanku (beruntung aku membawanya karena ternyata Taki kelaparan berat katanya), kami mengobrol soal liburan.
“Emi tidak berubah ya.” kata Taki sambil memandangiku. Aku menjadi sangat malu bila dia memandangiku seperti itu.
“Kamu juga. Selama liburan kamu ngapain aja?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Aku berkeliling ke rumah saudara-saudaraku. Aku juga ke rumah nenekku. Aku pernah cerita kan, kalau aku masih punya nenek dari ibuku?” celotehnya seperti biasa dengan berapi-api penuh semangat. Kadang aku heran dari mana dia mendapatkan semangat itu ya? Kenapa dia seakan tidak pernah lelah. Selalu bersemangat. Dan satu lagi, selalu tersenyum. Seakan dia tidak mempunyai beban atau kesedihan. “Nenek senang sekali aku mengunjunginya. Dia juga memberiku otoshidama (angapao tahun baru) karena aku diterima di Kobe University. Dia memberiku 50 ribu loh! Banyak kan? Sebenarnya aku malu menerimanya karena aku sudah besar tapi nenek memaksa jadi ya kuterima saja, hehehe…”
Aku melongo mendengar penjelasan Taki. Kobe University? Kenapa Kobe University? Bukankah dia sekarang kuliah di Shinshu University? Sama seperti aku? Lalu apa maksudnya ucapannya tentang Kobe University?
“Kobe University?” tanyaku hati-hati sekali. Taki seakan baru menyadari ucapannya. Dia meletakkan kembali makanan yang siap dimasukkannya ke mulut. Air mukanya berubah seperti orang yang menyesal.
“Maafkan aku Emi. Aku tidak menceritakan hal ini kepadamu.” Aku merubah posisi dudukku sehingga terlihat serius mendengarkan perkataannya. Kemudian Taki melanjutkan “Sebenarnya sejak dulu aku ingin masuk Kobe University. Tapi aku gagal dalam ujian masuk dan diterima di sini. Tapi aku tidak pernah berhenti berusaha supaya bisa masuk ke sana. Jadi pertengahan semester lalu aku mencoba ujian untuk mahasiswa transfer dan aku berhasil. Jadi Maret nanti aku akan pindah ke Kobe mulai April aku menjadi mahasiswa Kobe University.”
Mendengar penjelasannya leherku terasa tersekat. Makanan yang tadi kutelan seakan menyumbat kerongkonganku. Cepat-cepat aku ambil gelasku dan menghabiskan namacha (jenis teh Jepang) yang tersisa.
“Tapi kan kamu masih tingkat satu? Seharusnya mahasiswa tingkat 2 yang bisa ikut ujian transfer itu kan?”tanyaku dengan takut-takut dan penuh kebingungan. Aku sangat takut menghadapi kenyataan ini. Bagaimana mungkin aku harus berjauhan dengan Taki Maret nanti. Memang sih bagaimanapun juga kami akan berjauhan jika aku kembali ke Indonesia. Tapi itu kan nanti, September nanti. Masih 9 bulan lagi. Saat itu pasti aku sudah siap terpisah jarak dan waktu dengan Taki. Tapi Maret? Ya Tuhan, aku benar-benar berharap ini hanyalah mimpi. Aku takut mengetahui kenyataan ini. Semoga ini hanyalah April fool yang dimajukan 3 bulan lebih awal.
“Maafkan aku Emi, aku berbohong kepadamu. Sebenarnya aku sudah tingkat 2 saat ini. Jadi aku bisa mengkuti ujian itu. Aku minta maaf yang sedalam-dalamnya karena telah membohongimu”
Kembali aku memandangnya tidak percaya. Kalau benar dia bohong berarti dia patut mendapat piala Oskar atas aktingnya yang sempurna. Aktingnya menikmati musim dingin di Matsumoto seakan itu adalah musim dingin pertama yang dia alami di sini. Aktingnya ketika bermain lempar bola salju. Dan semua itu hanya akting? Semuanya bohong?
Tiba-tiba aku membeci diriku sampai ke ubun-ubun. Aku merasa bodoh telah mempercayai begitu saja ucapan orang yang baru aku kenal. Aku bahkan tidak pernah mencari tahu apakah ucapan orang itu benar atau palsu belaka. Aku benci diriku. Aku ingin menangis. Tapi aku tidak mau menangis di depan Taki lagi. Aku bertekat tidak akan menangis lagi di depannya.
Perlahan aku mencari tasku lalu segera berdiri setelah aku mendapatkannya. Tanpa berkata apapun aku menuju ke arah pintu. Aku harus keluar dari tempat ini pikirku. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari sini. Aku tidak ingin melihat Taki lagi. Panggilan Taki tak kuhiraukan. Aku menyentakkan tangannya ketika dia berusaha menahanku. Gerimis di mataku hampir tak terbendung. Aku yakin gerimis itu akan menjadi hujan lebat jika aku berbicara meskipun hanya sepatah kata.
Tanpa tujuan kukayuh sepedaku sekuat tenaga. Dinginnya udara tak lagi kuperdulikan. Aku biarkan tanganku mengendalikan sepeda sesuka hatinya sementara mataku tak dapat lagi melihat. Bendungan di mataku telah penuh sehingga airnya meluber ke pipiku. Aku benar-benar tidak bisa melihat. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa mengeluarkan suara.
Ketika aku mulai bisa menguasai keadaan aku menyadari bahwa aku berada di pintu gerbang taman Agata no Mori. Aku mengarahkan sepeda ke tempat ayunan yang biasa kukunjungi. Sepi. Tidak ada orang sama sekali. Dan gelap. Kenapa taman ini gelap sekali? Ayunan itu berdiri sendiri dan terlihat sangat kesepian. Aku duduk dan mulai berayun. Perlahan. Sangat perlahan. Kemudian bertambah kencang. Dan semakin kencang.
Tiba-tiba aku sadar bahwa aku berada di ayunan di tengah taman pada tengah malam. Taki menelpon menyuruhku ke rumahnya tadi pada sekitar jam 10. Jadi sekarang benar-benar tengah malam. Pantas saja semuanya gelap dan tak ada seorang pun yang kujumpai di jalanan.
Aku mulai mengurangi kecepatan ayunan sambil berusaha mengingat kejadian yang kualami sebelum aku sampai di taman ini. Mulai dari kepergianku ke apartemen Taki sampai penjelasan Taki tentang kebohongannya. Aku ingin marah kepada Taki tapi aku tak bisa sehingga amarahku beralih pada diriku sendiri. Aku marah karena aku telah memilih Taki sebagai orang yang istimewa bagiku. Aku marah dan kecewa karena memperbolehkan Taki menempati ruang di hatiku. Aku marah karena kebodohanku yang percaya begitu saja akan ucapan Taki.
Tak terasa air mataku kembali mengucur deras. Dan aku menggigil. Bukan karena dinginnya udara tapi karena menahan segala perasaan yang ada di hatiku. Aku berusaha keras mematikan hatiku supaya tak merasakan perihnya luka. Aku berusaha kembali menjadi aku yang dulu. Aku yang tak merasakan apa-apa. Aku yang tak perduli pada apapun. Aku pasti lebih bisa hidup jika aku mematikan syaraf-syaraf perasaanku.
Aku merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhku. Taki telah menyelimutkan overcoat-ku yang kutinggalkan begitu saja di kamarnya ketika aku keluar tadi. Anehnya aku tidak merasa kedinginan tanpa jaket tebal itu. “Emi, pulang yuk. Lihat tanganmu sudah sangat pucat. Mukamu juga. Kamu harus segera menghangatkan diri. Kalau tidak kamu nanti sakit. Ya, pulang ya?” Bujuknya sambil memegang jariku yang telah kebas. Saat itu justru aku merasa kedinginan. Aku menurut saja ketika Taki memakaikan overcoat-ku dan membimbingku ke arah sepedaku yang aku parker sembarangan. Aku tidak melihat sepeda Taki.
“Tadi aku berlari mengejarmu. Aku tidak sempat mencari kunci sepeda. Aku mencemaskanmu Emi. Sekarang kamu aku bonceng ya?” Penjelasan Taki ketika aku memandangnya bingung.
“Tidak, aku jalan saja.”
“Kalau begitu biar aku bawa sepedamu. Di depan ada mesin penjual minuman. Kita cari minuman hangat di sana.”
Sepanjang perjalanan Taki tidak mengatakan sepatah katapun dan aku mensyukuri hal itu. Aku tidak yakin akan bisa terus tenang jika kembali berbicara dengannya. Dengan sebelah tangannya Taki mengendalikan sepeda sementara tangannya yang bebas menggenggam erat tanganku. Kami berhenti sebentar untuk membeli minuman kaleng dari mesin penjual otomatis di depan gerbang taman.
Taki terus menuntunku sampai aku memasuki kamar dormitoriku. Dia ikut masuk dan segera menyuruhku beristirahat. Dia menyalakan pemanas ruangan, melepas overcoat-ku kemudian menyelimutiku di tempat tidur. Dia mengelus-elus rambutku seperti sedang menidurkan anak kecil. Entah kenapa aku diam menuruti semua perintahnya. Aku tidak melawan sama sekali. Aku terlalu sibuk mematikan syarafku sehingga tidak sempat memikirkan hal lain. Entah berapa lama Taki mengelus kepalaku hingga aku benar-benar tertidur.
===
Keesokan paginya ketika aku terbangun, Taki sudah tidak ada di kamarku. Hanya sepucuk memo kutemukan di atas meja. “Pagi Emi! Aku sudah buatkan sarapan untukmu. Makan ya! Kunci kamarmu aku bawa 1. Taki”
Di meja dapur aku temukan cah sayur kesukaanku dan telur mata sapi. Dan di rice cooker ada nasi yang telah siap disantap. Aku sama sekali tidak merasa lapar tapi untuk menghargai Taki aku memakan semua yang telah dia siapkan. Rasanya lumayan, bahkan bisa dibilang enak. Kaget juga aku mengetahui Taki bisa masak. Aku tersenyum sendiri membayangkan Taki sibuk memasak untukku.
Lalu seakan tersadar aku bertanya kepada diriku sendiri. Untuk apa Taki melakukan semua ini? Mengapa dia menghawatirkanku semalam jika dia tega berbohong kepadaku? Apakah dia juga menganggapku penting? Sebenarnya bagaimana perasaan Taki terhadapku?
Akhir Januari Taki berterus terang kepadaku. Tentang alasan dia berbohong kepadaku. Tentang perasaannya kepadaku. Dan tentang hubungan kami. Menurut penjelasannya, sebenarnya dia berbohong karena ingin mendekatiku. Dan ketika kami telah benar-benar dekat dia tidak tega mengatakan hal yang sesungguhnya karena tidak ingin mengecewakan aku. Dia juga menyayangiku tapi dia tidak bisa berhubungan serius denganku karena dia masih ingin belajar. Juga karena perbedaan-perbedaan yang ada di antara kami. Dia tidak mempunyai keberanian untuk melebur segala perbedaan itu. Dan inti dari semua penjelasannya yang panjang lebar adalah hubungan kami berakhir. Dia mengajakku untuk membina hubungan persahabatan.
Aku sudah siap menghadapi semua itu tapi tetap saja aku tak bisa menahan air mataku ketika mendengar keputusannya. Aku merasa aku belum sepenuhnya siap pulang pergi ke kampus tanpa dia. Dan pada kenyataannya aku tetap memposisikan Taki pada tempat yang istimewa di hatiku. Meski dia tidak mengatakan apapun tapi aku tahu dia bahagia karena aku tidak melupakannya begitu saja. Aku juga tahu bahwa dia masih menyayangiku. Aku yakin sampai kapanpun hubungan kami akan terus seperti ini.
===
Hari terus berganti hingga tiba bulan April yang merupakan awal tahun ajaran baru. Sakura masih belum mekar ketika para mahasiswa baru memadati kampus. Mereka memenuhi kantin, ruang kemahasiswaan, koperasi juga perpustakaan. Wajah-wajah mereka yang segar membuatku segera tahu bahwa mereka adalah mahasiswa baru. Mahasiswa tingkat 2 ke atas tidak sesegar mahasiswa baru dalam menyambut tahun ajaran baru.
Taki sudah pindah sebulan yang lalu. Aku membantunya sampai detik-detik terakhir. Dia meminjam sepedaku untuk megejar jam keberangkatan kereta. Dia juga menitipkan sampah pecahan kaca dan koran bekas karena tidak bisa membuangnya pada hari pembuangan. Padahal hari pembuangan sampah jenis itu telah lewat sehingga aku terpaksa menumpuk sampah itu sebulan untuk bisa membuangnya pada hari yang ditentukan. Dasar Taki! Merepotkan bahkan sampai detik terakhir kepindahannya.
Di Jepang memang system pembuangan sampahnya sangat rumit. Kita tidak bisa membuang sampah begitu saja. Sampah harus dipilah-pilah untuk dibuang pada hari-hari tertentu. Jika masih nekat membuang sampah bukan pada hari yang ditentukan maka jangan kaget jika sampah itu akan kembali ke depan kamar. Karena di plastik sampah, kita harus menuliskan nama kita. Jika kita membuang sampah berbeda pada hari yang telah ditentukan dan tanpa menuliskan nama, maka petugas sampah tidak akan mengambil sampah tersebut. Dan pasti ada orang yang marah-marah dan mencari pemilik sampah tersebut. Tapi semua tergantung dari peraturan di masing-masing daerah. Ada juga daerah yang tidak terlalu ketat peraturannya.
Seperti biasa aku masih suka menyendiri di teras dekat tangga lantai 2. Langit masih terlihat biru meski kadang berawan. Suatu hari pada pertengahan April yang cerah, aku duduk di kursi teras lantai 2 sambil membaca dan menikmati udara musim semi yang hangat. Sakura belum mekar di Matsumoto. Perkiraan cuaca meramalkan bahwa sakura akan mekar di Matsumoto pada akhir April. Memang suhu di sini belum cukup untuk memekarkan sakura.
Tiba-tiba seorang pemuda datang dan langsung menutup pintu teras. “Wah, dingin!” katanya sambil menggigil. Aku kaget bukan karena kedatangannya tapi karena gerakannya yang secara reflek menutup pintu. Aku segera mencari HP dan menghubungi tutorku. “Sayaka, tolong datang ke tangga lantai 2 sekarang. Tolong bukakan pintu teras ya. Cepat!” kataku setengah memerintah di telepon. Pemuda yang baru masuk tadi tampak terkejut mendengar kata-kataku. Dengan bingung dia bertanya “Kenapa anda meminta tolong teman anda untuk membukakan pintu ini?”
Aku tidak segera menjawab melainkan segera membereskan buku-bukuku. Ketika Sayaka datang dan membukakan pintu, aku berlalu ke arah pintu dan berkata kepada pemuda itu “Pintu ini tidak bisa dibuka dari teras, jadi jangan pernah menutupnya jika anda tidak ingin terkunci di sini.”
Kutinggalkan teras dan bersama Sayaka aku menuju ke perpustakaan. Hampir saja pengalamanku bersama Taki terulang kembali. Sepertinya aku harus mencari tempat lain untuk menyendiri. Aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi.
Bunga ume di halaman perpustakaan telah mekar. Warnanya yang merah dan lebih gelap daripada sakura tampak indah dilatari langit biru yang cerah. Hari ini pun langit itu masih biru.
Selesai.
Terima kasih kepada teman-teman yang bersedia menunggu sambungan cerita “Selamat Datang Cinta”. Akhirnya selesai juga. Maaf telah membuat kalian semua menunggu lama. :)
Labels: fiksi
2 Comments:
bagus mee...
detail banget lagi. serasa di jepang pas lagi new year deh kalo baca ini
By
imoet, at Fri Apr 06, 11:44:00 PM 2007
makasih komennya mut...jadi semangat nulis lagi ;)
By
Mee, at Sat Apr 14, 11:39:00 PM 2007
Post a Comment
<< Home